In Memoriam

seberapajauh kaki ini kan melangkah…
seberapa lama hati kan menunggu
mimpi yang kan bermetamorfosa
tlah kutunggu begitu lama
hingga ia pergi jauh, tak mampu kukejar
ingin kuremukan hati
biarkan semuanya luruh
tapi aku sungguh tak mampu
keresahan hati
kemana kan ku bagi
kerinduan hati hanya untuk seorang kekasih hati
yang kini tak lagi kumiliki
bukan karena ku tak mencintanya
aku sungguh mengharapkannya
ingin kukayuh biduk
ingin kukembangkan layar bersamanya
hah, semuanya menghilang
aku masih tetap menunggu
suatu yang aku tunggu
dalam hatiku, masih bersemayam kenangan bersamanya
duduk berdua memandang samudra yang kan kutempuh
perjalananan  menjadi saksi
saat kau dekap diriku
serasa kau takut kehilangan
begitu hangat terasa
akankah terulang….

BUYA HAMKA

Biografi Buya Hamka

Buya Hamka lahir tahun 1908, di desa kampung Molek, Meninjau, Sumatera Barat, dan meninggal di Jakarta 24 Juli 1981. Nama lengkapnya adalah Haji Abdul Malik Karim Amrullah, disingkat menjadi HAMKA.

Belakangan ia diberikan sebutan Buya, yaitu panggilan buat orang Minangkabau yang berasal dari kata abi, abuya dalam bahasa Arab, yang berarti ayah kami, atau seseorang yang dihormati.

Ayahnya adalah Syekh Abdul Karim bin Amrullah, yang dikenal sebagai Haji Rasul, yang merupakan pelopor Gerakan Islah (tajdid) di Minangkabau, sekembalinya dari Makkah pada tahun 1906.

HAMKA (1908-1981), adalah akronim kepada nama sebenar Haji Abdul Malik bin Abdul Karim Amrullah. Beliau adalah seorang ulama, aktivis politik dan penulis Indonesia yang amat terkenal di alam Nusantara. Beliau lahir pada 17 Februari 1908 di kampung Molek, Maninjau, Sumatera Barat, Indonesia. Ayahnya ialah Syeikh Abdul Karim bin Amrullah atau dikenali sebagai Haji Rasul, seorang pelopor Gerakan Islah(tajdid) di Minangkabau, sekembalinya dari Makkah pada tahun 1906.

HAMKA mendapat pendidikan rendah di Sekolah Dasar Maninjau sehingga Darjah Dua. Ketika usia HAMKA mencapai 10 tahun, ayahnya telah mendirikan Sumatera Thawalib di Padang Panjang. Di situ HAMKA mempelajari agama dan mendalami bahasa Arab. HAMKA juga pernah mengikuti pengajaran agama di surau dan masjid yang diberikan ulama terkenal seperti Syeikh Ibrahim Musa, Syeikh Ahmad Rasyid, Sutan Mansur, R.M. Surjoparonto dan Ki Bagus Hadikusumo.

Hamka mula-mula bekerja sebagai guru agama pada tahun 1927 di Perkebunan Tebing Tinggi, Medan dan guru agama di Padangpanjang pada tahun 1929. HAMKA kemudian dilantik sebagai dosen di Universitas Islam, Jakarta dan Universitas Muhammadiyah, Padangpanjang dari tahun 1957 hingga tahun 1958. Setelah itu, beliau diangkat menjadi rektor Perguruan Tinggi Islam, Jakarta dan Profesor Universitas Mustopo, Jakarta. Dari tahun 1951 hingga tahun 1960, beliau menjabat sebagai Pegawai Tinggi Agama oleh Menteri Agama Indonesia, tetapi meletakkan jabatan itu ketika Sukarno menyuruhnya memilih antara menjadi pegawai negeri atau bergiat dalam politik Majlis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi).

Hamka adalah seorang otodidiak dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan seperti filsafat, sastra, sejarah, sosiologi dan politik, baik Islam maupun Barat. Dengan kemahiran bahasa Arabnya yang tinggi, beliau dapat menyelidiki karya ulama dan pujangga besar di Timur Tengah seperti Zaki Mubarak, Jurji Zaidan, Abbas al-Aqqad, Mustafa al-Manfaluti dan Hussain Haikal. Melalui bahasa Arab juga, beliau meneliti karya sarjana Perancis, Inggris dan Jerman seperti Albert Camus, William James, Sigmund Freud, Arnold Toynbee, Jean Paul Sartre, Karl Marx dan Pierre Loti. Hamka juga rajin membaca dan bertukar-tukar pikiran dengan tokoh-tokoh terkenal Jakarta seperti HOS Tjokroaminoto, Raden Mas Surjoparonoto, Haji Fachrudin, Ar Sutan Mansur dan Ki Bagus Hadikusumo sambil mengasah bakatnya sehingga menjadi seorang ahli pidato yang handal.

Hamka juga aktif dalam gerakan Islam melalui pertubuhan Muhammadiyah. Beliau mengikuti pendirian Muhammadiyah mulai tahun 1925 untuk melawan khurafat, bidaah, tarekat dan kebatinan sesat di Padang Panjang. Mulai tahun 1928, beliau mengetuai cabang Muhammadiyah di Padang Panjang. Pada tahun 1929, Hamka mendirikan pusat latihan pendakwah Muhammadiyah dan dua tahun kemudian beliau menjadi konsul Muhammadiyah di Makassar. Kemudian beliau terpilih menjadi ketua Majlis Pimpinan Muhammadiyah di Sumatera Barat oleh Konferensi Muhammadiyah, menggantikan S.Y. Sutan Mangkuto pada tahun 1946. Beliau menyusun kembali pembangunan dalam Kongres Muhammadiyah ke-31 di Yogyakarta pada tahun 1950.

Pada tahun 1953, Hamka dipilih sebagai penasihat pimpinan Pusat Muhammadiah. Pada 26 Juli 1977, Menteri Agama Indonesia, Prof. Dr. Mukti Ali melantik Hamka sebagai ketua umum Majlis Ulama Indonesia tetapi beliau kemudiannya meletak jawatan pada tahun 1981 karena nasihatnya tidak dipedulikan oleh pemerintah Indonesia.

Kegiatan politik HAMKA bermula pada tahun 1925 apabila beliau menjadi anggota parti politik Sarekat Islam. Pada tahun 1945, beliau membantu menentang kemaraan kembali penjajah Belanda ke Indonesia melalui pidato dan menyertai kegiatan gerila di dalam hutan di Medan. Pada tahun 1947, HAMKA dilantik sebagai ketua Barisan Pertahanan Nasional, Indonesia. Beliau menjadi anggota Konstituante Masyumi dan menjadi pemidato utama dalam Pilihan Raya Umum 1955. Masyumi kemudiannya diharamkan oleh pemerintah Indonesia pada tahun 1960. Dari tahun 1964 hingga tahun1966, HAMKA telah dipenjarakan oleh Presiden Sukarno kerana dituduh pro-Malaysia. Semasa dipenjarakanlah maka beliau mula menulis Tafsir al-Azhar yang merupakan karya ilmiah terbesarnya. Setelah keluar dari penjara, HAMKA dilantik sebagai ahli Badan Musyawarah Kebajikan Nasional, Indonesia, anggota Majlis Perjalanan Haji Indonesia dan anggota Lembaga Kebudayaan Nasional, Indonesia.

Selain aktif dalam soal keagamaan dan politik, HAMKA merupakan seorang wartawan, penulis, editor dan penerbit. Sejak tahun 1920-an lagi, HAMKA menjadi wartawan beberapa buah akhbar seperti Pelita Andalas, Seruan Islam, Bintang Islam dan Seruan Muhammadiyah. Pada tahun 1928, beliau menjadi editor majalah Kemajuan Masyarakat. Pada tahun 1932, beliau menjadi editor dan menerbitkan majalah al-Mahdi di Makasar. HAMKA juga pernah menjadi editor majalah Pedoman Masyarakat, Panji Masyarakat dan Gema Islam.

Hamka juga menghasilkan karya ilmiah Islam dan karya kreatif seperti novel dan cerpen. Karya ilmiah terbesarnya ialah Tafsir al-Azhar (5 jilid) dan antara novel-novelnya yang mendapat perhatian umum dan menjadi buku teks sastera di Malaysia dan Singapura termasuklah Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, Di Bawah Lindungan Kaabah dan Merantau ke Deli.

Hamka pernah menerima beberapa anugerah pada peringkat nasional dan antarabangsa seperti anugerah kehormatan Doctor Honoris Causa, Universitas al-Azhar, 1958; Doktor Honoris Causa, Universitas Kebangsaan Malaysia, 1974; dan gelaran Datuk Indono dan Pengeran Wiroguno daripada pemerintah Indonesia.

Hamka telah pulang ke rahmatullah pada 24 Juli 1981, namun jasa dan pengaruhnya masih terasa sehingga kini dalam memartabatkan agama Islam. Beliau bukan sahaja diterima sebagai seorang tokoh ulama dan sasterawan di negara kelahirannya, malah jasanya di seluruh alam Nusantara, termasuk Malaysia dan Singapura, turut dihargai.

SAKIT HATI

Hampir setiap malam dia mendatangi rumah-rumah yang ada di negeri itu untuk melakukan aksinya, yaitu mencuri. Hingga suatu malam ketika dia kembali melaksanakan aksinya itu, diapun singgah di sebuah rumah milik seorang ahli ibadah. Pada saat yang bersamaan ketika dia telah berada di rumah itu, tiba-tiba dia mendengar suara lantunan Al Qur’an sedang dibacakan. Rupanya suara itu berasal dari sang pemilik rumah yang sedang berdiri bermunajat kepada Robb-nya. Sang pencuri pun hanyut dengan lantunan ayat-ayat Allah yang sedang dilantunkan, hingga ketika sampai pada ayat:

“Belum tibakah waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka mengingat allah dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka),dan janganlah mereka seperi orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan al-kitab kepadanya, kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras. dan kebanyakan diantara mereka adalah orang-orang yang fasik.” (QS. Al-Hadid: 16)

Tak terasa air matanya berlinang, hingga akhirnya dia pun tersungkur jatuh. Seketika badannya yang selama ini kokoh, menjadi rapuh karena mendengar ayat tadi. Setelah kejadian itu, dia pun melalui hari-harinya dengan ketaatan kepada Allah. Maha suci Allah yang telah membolak-balikkan hati, dan menganugerahkan kepada hambanya hati yang lembut. Itulah kisah sorang ulama’ dan hamba yang sholeh, Al-Imam Al-Fudhoil bin Iyadh sebagaimana yang disebutkan oleh Al-Hafizh Adz-Dzahabiy dalam kitabnya Siyar A’lam An-Nubala’ (8/423)

Pembaca yang budiman, pernahkah hati kita bergetar ketika mendengar ayat-ayat Allah dilantunkan? Pernahkah kedua pipi kita ini basah oleh tetesan air mata, walaupun setitik saja ketika mendengar ayat-ayat Allah dibacakan? atau jangan-jangan tidak pernah!! Cobalah kita menengok jauh ke dalam lubuk hati kita! Periksalah apakah disana masih ada kata iman? atau sudah tertutupi oleh noda-noda hitam kemaksiatan. Bila di dalam hati kita masih ada keimanan, lalu mengapa ia tidak bergetar ketika mendengar ayat-ayat Allah dibacakan? ataukah hati kita lebih keras daripada gunung? Padahal Allah -Ta’ala- telah mengabarkan bahwa jika seandainya Al-Qur’an ini diturunkan pada gunung-gunung yang kokoh, niscaya dia akan menjadi hancur lebur, karena takut kepada Allah sebagaimana yang difirmankan Allah -Azza wa Jalla-,

“Kalau sekiranya kami menurunkan Al-Qur’an kepada sebuah gunung, pasti kamu akan melihatnya tunduk terpecah belah disebabkan takut kepada Allah. Dan perumpamaan-perumpamaan itu kami buat untuk manusia supaya mereka berrfikir .” (QS. Al-Hasyr: 21).

Ibnu Qoyyim Al-Jauziyyah-rahimahullah- berkata,”Kapan saja mata kering dari tangisan (yang timbul) karena takut kepada Allah -Ta’ala-, maka ketahuilah bahwa keringnya mata dari tangisan, karena kerasnya hati. Hati yang paling jauh dari Allah adalah hati yang keras”.[Lihat Bada’i’ul Fawa’id (3/743)]

Setiap orang diantara kita memiliki kondisi hati yang berbeda-beda; sesuai dengan ada-tidaknya penyakit syahwat dan syubhat yang ada di dalam hati. Oleh karena itu, setiap orang harus mempelajari hati, dan penyakitnya agar kelak ia bisa mengobati sebelum hati akut, dan binasa. Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah -rahimahullah- telah membagi hati menjadi tiga jenis:

* Qolbun Mayyit (Hati yang Mati)

Hati yang mati adalah hati yang kosong dari semua jenis kebaikan. Setan sudah leluasa untuk melemparkan rasa was-was di dalam dadanya. Karena setan telah mengambil hatinya sebagai tempat tinggalnya, yang dia telah berkuasa penuh didalamnya, dan setan bebas berbuat apa saja di dalamnya. Ini adalah hatinya orang-orang yang kafir kepada Allah, yang tidak memiliki keimanan dan kebaikan sedikitpun disebabkan karena kekafiran dan kesyirikan mereka. Yang kami maksud dengan keimanan di sini adalah keimanan terhadap uluhiyyah (penyembahan hanya kepada Allah semata), bukan keimanan pada rububiyyah Allah saja (meyakini bahwa hanya Allah Pencipta, Pemberi rizki, Pengatur, dan lain-lain). Sebab, kalau hanya mengakui bahwa tidak ada pencipta, pemberi rizki, pengatur selain Allah, maka ini tidaklah cukup. Karena orang-orang musyrikin di zaman jahiliyyah pun menetapkan hal tersebut. Banyak ayat-ayat di dalam Al-Qur’an yang menerangkan hal itu. Allah -Ta’ala- berfirman,

“Dan sesungguhnya jika kamu tanyakan kepada mereka, “Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?” Tentu mereka akan menjawab, “Allah”. Katakanlah, “Segala puji bagi Allah”; tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui”. (QS. Luqman: 25)

Jadi, orang-orang yang musyrik, hatinya kosong dari iman dan kosong dari segala kebaikan, walaupun ia melakukan amalan yang sangat banyak. Para ulama telah bersepakat bahwa tidak satu pun amalan orang kafir yang diterima, berdasarkan firman Allah,

”Tidak boleh bagi orang-orang musyrik untuk memakmurkan masjid-masjid Allah tatkala mereka mempersaksikan kekafirannya. mereka itulah orang-orang yang terhapus amalannya dan mereka kekal di neraka.”. (QS.At-Taubah:17).

Konon kabarnya, Ibnu Abbas pernah ditanya, “Sesungguhnya orang-orang yahudi bahwa mereka tidak pernah diganggu setan dalam shalatnya”. Ibnu Abbas -radhiyallahu ‘anhu- berkata, “apa yang dapat diperbuat oleh setan pada hati yang hancur (mati)”. [Lihat Shohih Al-Wabil Ash-Shoyyib (hal.52), cet. Dar Ibn Al-Jauziy]

* Qolbun Maridh (Hati yang Sakit)

Qolbun maridh adalah hati yang telah disinari dengan cahaya keimanan, telah beriman kepada Allah -Ta’ala- dan menyembah hanya kepada-Nya. Dia telah menyalakan pelita-pelita keimanan di dalam hatinya. Tapi cahaya pelitanya kurang terang sehingga masih ada sisi hatinya yang masih gelap, dipenuhi oleh kegelapan syahwat dan badai-badai hawa nafsu. Maka setan mempunyai tempat keluar-masuk pada hati tersebut, sehingga berlangsunglah peperangan (kadang ia menang dan kadang ia kalah). Di antara mereka ada orang yang sering menang atas musuhnya dan terkadang sebaliknya. Inilah hati yang berpenyakit; dia masih mempunyai keimanan, kenal dengan tauhid, tapi ia melakukan maksiat dan dosa-dosa besar. Padahal maksiat itulah yang mendatangkan kegelapan pada hatinya. Kadar kegelapan itu tergantung kepada kadar maksiat yang dikerjakan. Semakin besar maksiat tersebut, maka akan semakin besar pula kegelapan yang akan meredupkan cahaya keimanannya. Hati yang seperti ini masih bisa terobati dengan resep-resep yang bisa menyehatkan hatinya. Tapi juga terkadang tidak bisa lagi mengambil manfaat dari terapi dan obat yang diberikan kepadanya, kecuali sedikit saja. Bahkan terkadang penyakitnya semakin bertambah parah sehingga hati yang sakit terkadang menjadi mati. Na’udzu billahi min dzalik.

Allah -Ta’ala- berfirman,

“Dalam hati mereka ada penyakit, lalu ditambah Allah penyakitnya; dan bagi mereka siksa yang pedih, disebabkan mereka berdusta”. (QS. Al-Baqoroh: 10).

* Qolbun Salim (Hati yang Sehat)

Qolbun Salim adalah hati yang dipenuhi oleh keimanan, hatinya telah bersinar dengan cahaya keimanan, telah hilang darinya badai-badai syahwat, telah dilepaskan darinya kegelapan-kegelapan maksiat. Cahaya itu sangat terang di dalam hatinya. Seandainya bisikan dan godaan mendekat kepadanya, maka godaan tersebut akan terbakar. Oleh karena itu, hati seperti ini diperumpamakan seperti langit yang dijaga oleh bintang-bintang. Seandainya ada setan mendekat ke langit untuk mencuri berita, maka akan dilemparkan bintang-bintang itu kepadanya, dan setan akan terbakar. Tidaklah kehormatan langit itu, lebih besar daripada kehormatan hati seorang mukmin. Penjagaan Allah terhadap hati yang seperti ini adalah penjagaan yang lebih sempurna daripada penjagaan kepada langit, sebab langit adalah tempat beribadahnya para malaikat, tempat tinggalnya wahyu, dan di dalamnya ada cahaya-cahaya ketaatan dari para malaikat. Tetapi hatinya seorang mukmin adalah tempat tinggalnya tauhid, cinta kepada Allah -Ta’ala- , pengenalan kepada Allah, penghambaan kepada-Nya; semuanya itu memiliki cahaya-cahaya. Maka tentunya penjagaan dari makar-makar musuh (setan) terhadap hati seorang mukmin lebih pantas lagi. [Lihat Shohih Al-Wabil (hal. 51)]

Setelah kita mengetahui jenis-jenis hati ini, maka kita akan tahu kondisi hati kita masing-masing. Apabila hati anda sakit, maka jangan engkau biarkan dia semakin parah sakitnya. Namun, obatilah dia dengan taubat dan menjaga diri dari dosa, jangan sampai karena lamanya dia sakit yang menyebabkan hati mati. Lantaran itu, ia mendapatkan azab yang pedih.

Ibnul Qayyim-rahimahullah- berkata, “Tidak ada azab yang dikenakan kepada seorang hamba yang lebih besar daripada hati yang keras dan jauh dari Allah -Azza wa Jalla-“. [Lihat Al Fawa’id (hal. 97), cet. Darul Kutub]

Oleh karena itu, lunaknya hati dan cucuran air mata disaat mendengar dan membaca Al-Qur’an adalah ciri-ciri kaum salaf -radhiyallahu ‘anhum-(Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam- ,dan para sahabatnya). Allah -Azza wa Jalla- berfirman,

“Katakanlah: “Berimanlah kamu kepadanya atau tidak usah beriman (sama saja bagi Allah). Sesungguhnya orang-orang yang diberi pengetahuan sebelumnya apabila Al Quran dibacakan kepada mereka, mereka menyungkur atas muka mereka sambil bersujud. Dan mereka berkata, “Maha Suci Tuhan kami, Sesungguhnya janji Tuhan kami pasti dipenuhi”. (QS. Al-Israa’: 107-109).

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah-rahimahullah- berkata, “Sesungguhnya sesuatu yang terjadi berupa terenyuhnya hati, air mata menetes dan tubuh yang merinding di saat mendengar ayat-ayat Allah atau dzikir-dzikir yang disyari’atkan, maka ini adalah seutama-utama keadaan yang telah disebutkan dalam Al-Kitab dan As-Sunnah”. [Lihat Majmu’ Al-Fatawa (22/522)]

Allah –Subhaana wa Ta’ala- berfirman,

“Allah telah menurunkan perkataan yang paling baik (yaitu) Al Quran yang serupa (mutu ayat-ayatnya) lagi berulang-ulang, gemetar karenanya kulit orang-orang yang takut kepada Tuhannya. Kemudian menjadi tenang kulit dan hati mereka di waktu mengingat Allah. Itulah petunjuk Allah. Dengan Kitab itu Dia menunjuki siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang disesatkan oleh Allah, niscaya tak ada baginya seorang pemimpin pun”. (QS.Az-Zumar: 23)

Allah – Subhaana wa Ta’ala – berfirman,

“Apabila dibacakan ayat-ayat Allah yang Maha Pemurah kepada mereka, Maka mereka menyungkur dengan bersujud dan menangis”. (QS. Maryam: 58)

Ahli Tafsir Negeri Andalusia, Al-Imam Al-Qurthubi-radhiyallahu ‘anhu- berkata, ”Di dalam ayat ini terdapat bukti bahwa ayat-ayat Allah punya pengaruh terhadap hati”. [Lihat Al-Jami’ li Ahkam Al-Qur’an (11/111)]

Saudaraku, ikutilah jejak-jejak orang-orang shalih dan orang-orang terbaik dari kalangan umat ini. Bila salah seorang dari mereka melewati ayat-ayat yang menyebutkan tentang neraka, terasa akan copot hatinya, karena takut kepada neraka dan ngeri tentang siksanya. Bila mereka melewati ayat-ayat yang menyebutkan tentang surga dan kenikmatannya, terasa persendian mereka gemetar, karena khawatir akan diharamkan untuk merasakan kenikmatan yang kekal itu. Dua keadaan inilah yang memberikan pengaruh hingga meneteslah air matanya dan khusyu hatinya.

Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- sendiri telah menganjurkan umatnya untuk khusyu’, menghinakan diri dan menangis saat membaca Al Qur’an, karena takut kepada Allah -Ta’ala-.

Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda,

عَيْنَانِ لاَ تَمَسُّهُمَا النَّارُ: عَيْنٌ بَكَتْ مِنْ خَشْيَةِ اللهِ وَعَيْنٌ بَاتَتْ تَحْرِسُ فِيْ سَبِيْلِ اللهِ

“Dua mata yang tidak akan disentuh oleh api neraka: (pertama) mata yang menangis karena takut kepada Allah, (kedua) mata yang bermalam dalam keadaan berjaga di jalan Allah”. [HR. At-Tirmidziy dalam Sunan-nya (1639). Hadits ini di-shahih-kan oleh Syaikh Al- Albany dalam Takhrij Al-Miskah (3829)]

Sumber : Buletin Jum’at Al-Atsariyyah edisi 83 Tahun II. Penerbit : Pustaka Ibnu Abbas.

  • Kategori

  • Klik tertinggi

    • Tidak ada