Hubungan Motivasi dengan Perilaku

Handoko (1992), menyatakan bahwa motivasi merupakan suatu tenaga yang terdapat dalam diri manusia yang menimbulkan, mengarahkan, dan mengorganisasi tingkah laku. Lewin (dalam Petri, 1981) mengungkapkan bahwa perilaku merupakan fungsi dari faktor personal dan faktor lingkungan dalam pengertian bahwa perilaku itu timbul karena adanya dorongan faktor internal dan kekuatan faktor eksternal. Sementara itu Watson (dalam As’ad, 1982) menegaskan bahwa perilaku pada dasarnya bersifat mekanistis, yaitu timbulnya disebabkan karena adanya stimulus. Perilaku dipandang sebagai reaksi atau respons terhadap suatu stimulus.
Woodhworth (dalam Petri, 1981) mengungkapkan bahwa perilaku terjadi karena adanya motivasi atau dorongan (drive) yang mengarahkan individu untuk bertindak sesuai dengan kepentingan atau tujuan yang ingin dicapai. Karena tanpa dorongan tadi tidak akan ada suatu kekuatan yang mengarahkan individu pada suatu mekanisme timbulnya perilaku. Dorongan diaktifkan oleh adanya kebutuhan (need), dalam arti kebutuhan membangkitkan dorongan, dan dorongan ini pada akhirnya mengaktifkan atau memunculkan mekanisme perilaku.
Lebih lanjut dijelaskan bahwa motivasi sebagai penyebab dari timbulnya perilaku menurut konsep Woodworth (dalam As’ad, 1982) mempunyai 3 (tiga) karakteristik, yaitu : (a) intensitas; menyangkut lemah dan kuatnya dorongan sehingga menyebabkan individu berperilaku tertentu; (b) pemberi arah; mengarahkan individu dalam menghindari atau melakukan suatu perilaku tertentu; dan (c) persistensi atau kecenderungan untuk mengulang perilaku secara terus menerus.
Pandangan lain dikemukakan oleh Hull (dalam As’ad, 1982) yang menegaskan bahwa perilaku seseorang dipengaruhi oleh motivasi atau dorongan oleh kepentingan mengadakan pemenuhan atau pemuasan terhadap kebutuhan yang ada pada diri individu. Lebih lanjut dijelaskan bahwa perilaku muncul tidak semata-mata karena dorongan yang bermula dari kebutuhan individu saja, tetapi juga karena adanya faktor belajar. Faktor dorongan ini dikonsepsikan sebagai kumpulan energi yang dapat mengaktifkan tingkah laku atau sebagai motivasional factor, dimana timbulnya perilaku menurut Hull adalah fungsi dari tiga hal yaitu : kekuatan dari dorongan yang ada pada individu; kebiasaan yang didapat dari hasil belajar; serta interaksi antara keduanya.
Berdasarkan uraian di atas, konsep motivasi yang dikemukakan dalam kaitannya dengan perilaku dapat dikatakan bahwa motivasi merupakan suatu konstruk yang dimulai dari adanya need atau kebutuhan pada diri individu dalam bentuk energi aktif yang menyebabkan timbulnya dorongan dengan intensitas tertentu yang berfungsi mengaktifkan, memberi arah, dan membuat persisten (perilaku berulang-ulang) dari suatu perilaku untuk mengatasi atau memenuhi kebutuhan yang menjadi penyebab timbulnya dorongan itu sendiri.

Aduh … Anakku Mogok Sekolah!

“Kenapa anakku mogok sekolah ?”, tanya sepupu saya.
“Anak kamu yang mana ? Yang gede ?”, jawab saya.
“Bukan yang bungsu. Yang 5 tahun.”, sahut sepupu saya.

Hmmm … mendadak timbul pertanyaan dalam diri saya, “mengapa anak usia 5 tahun sudah enggan sekolah?” Rasanya, saat saya kecil dulu, saya suka sekali sekolah TK. Walau belum waktunya sekolah -karena masih berumur 4 tahun –  saya sudah minta sekolah. Akhirnya, orangtua saya mengalah. Saya didaftarkan di sekolah yang dekat dengan rumah dan diterimalah saya di sekolah itu sebagai anak pupuk bawang !

Memang akhir-akhir ini, sering dijumpai anak prasekolah (belum SD) sudah mengalami peristiwa mogok sekolah. Sewaktu saya masih mengajar di TK-PG, saya juga mengalami hal yang sama dengan murid-murid saya. Kebanyakan mogok sekolah ini terjadi pada hari Senin, setelah libur Sabtu dan  Minggu atau setelah liburan panjang. Ada apa ya ?

Mogok sekolah atau dalam bahasa kerennya, School Refusal, adalah kejadian dimana seorang siswa mengalami keengganan untuk datang ke sekolah karena suatu sebab. Mogok sekolah ini kasus yang masih ringan dibandingkan dengan fobia sekolah. Fobia sekolah / School Phobia biasanya lebih sering disertai dengan gejala fisik misalnya tiba-tiba sakit kepala, muntah, sakit perut dan perasaan tegang, takut yang berlebihan ketika akan masuk sekolah. Mogok sekolah yang kurang ditangani dengan baik biasanya akan berkembang menjadi fobia sekolah.

Ada beragam penyebab terjadinya mogok sekolah. Berikut ini adalah beberapa penyebab dari mogok sekolah :

Ada kejadian yang tidak mengenakkan di rumah atau ada yang ingin dilindungi di rumah

Penyebab ini tampaknya yang membuat keponakan saya enggan untuk sekolah. Di rumah, orangtuanya sedang dalam keadaan perang dunia ke III. Secara naluriah, seorang anak ingin melindungi keluarganya atau salah satu dari kedua orangtuanya. Naluri ingin melindungi ini yang menyebabkan ia tidak ingin meninggalkan rumah karena takut akan terjadi sesuatu dengan keluarga atau salah satu dari kedua orangtuanya.

Jika hal ini yang menjadi penyebab maka tentunya relasi kedua orangtua harus diperbaiki lebih dulu. Atau minimal dilakukan gencatan senjata dulu dan apabila perang akan dilanjutkan, alangkah baiknya jika tidak didepan anak-anak. Bicarakan masalah apapun dengan kepala dingin dan hati dewasa sehingga tidak akan membuat anak-anak kita menjadi terancam. Ingat anak-anak memiliki perasaan yang peka terhadap keadaan orangtuanya.

Di rumah lebih enak, karena aku bisa lebih bebas, bermain PS atau yang lainnya

Ada orangtua yang mengijinkan anaknya untuk bermain dengan bebas apabila anaknya tidak sekolah. Ketika saya tanya mengapa anak diijinkan untuk bermain hal yang ia sukai semaunya maka kebanyakan  orangtua menjawab bahwa mereka tidak ingin direpotkan oleh anak yang tidak sekolah. Makanya banyak orangtua meminta anak untuk menyibukkan diri dengan segala aktivitas menyenangkan di rumah. Faktor inilah yang bisa menyebabkan anak lebih memilih untuk dirumah daripada sekolah.

Hal lain yang bisa menyebabkan keadaan di rumah lebih menyenangkan adalah proses pembelajaran di sekolah membosankan. Apabila hal ini yang terjadi maka kita harus berdiskusi dengan guru untuk membuat suatu proyek atau aktivitas yang dapat menarik minat anak. Namun untuk tingkat prasekolah, penyebab yang satu ini jarang terjadi.

Ada kejadian yang tidak mengenakkan di sekolah sehingga anak menjadi takut sekolah

Pengalaman disakiti oleh teman (dipukul, didorong hingga jatuh, dimusuhi—bullying) dapat menyebabkan seorang anak prasekolah menjadi takut untuk sekolah. Apabila hal ini terjadi, kita bisa meminta bantuan pada guru dengan menceritakan penyebab anak takut dan meminta guru untuk memberi perhatian ekstra terhadap proses interaksi di kelas.

Adanya hal baru di sekolah juga dapat menyebabkan anak enggan untuk sekolah misal adanya guru baru, kepala sekolah baru, atau barang baru yang tidak disukai oleh anak. Kerjasama dengan guru perlu dilakukan apabila penyebab ini yang menyebabkan anak kita tidak mau sekolah. Pendekatan perlahan-lahan dan mengajak anak bermain bersama dengan benda/orang yang ia takuti akan membantunya menimbulkan perasaan berani.

Perasaan kurang disayang dalam diri anak

Perasaan diabaikan dalam diri anak akan menyebabkan ia memunculkan perilaku yang mengakibatkan ia diperhatikan oleh orangtua. Jika ia tidak masuk sekolah maka ayah/ibu akan bingung dan (minimal) ia akan diajak berbicara bukan? Proses pembicaraan atau ditemani inilah yang dinantikan oleh anak walau proses ini tidak enak. Bagaimana jika penyebab ini yang terjadi ? Yaa… jawabannya adalah di pengisian tangki cinta. Lihat DVD Tangki Cinta Anak yang telah dikeluarkan oleh SekolahOrangtua.com yang merupakan rekaman 3 jam seminar dari Bapak Ariesandi.

Ada kalanya, kehadiran adik baru juga dapat menyebabkan anak menjadi enggan untuk sekolah. Perasaan takut kehilangan ibu menyebabkan ia bertingkah seperti bayi lagi dengan harapan ibu akan memperhatikan dirinya seperti ibu memperhatikan adik baru.

Meluangkan waktu dan melibatkan anak si sulung akan banyak membantu anak dalam beradaptasi dengan adik barunya.

Apa yang harus kita lakukan saat anak kita tidak mau sekolah ?
Kunci utama dan paling utama adalah : tenang. Berpikirlah dengan jernih, tiap permasalahan pasti ada penyebab. Hadapi anak kita dengan netral dan bersikap tenang akan sangat membantu anak kita dalam menghadapi permasalahan.

  1. Langkah pertama adalah dekati anak kita dan berbicaralah dari hati ke hati mengenai penyebab ia tidak mau sekolah. Gunakan pertanyaan,”Apa yang terjadi di sekolah yang menyebabkan kamu tidak mau sekolah ?”. Jika anak tidak mau menjawab, kita dapat gunakan pertanyaan “yes no question” untuk memancingnya. “Apakah ada teman baru ?” atau “Ada sesuatu di sekolah yang tidak kamu sukai ?”. Atau “Apakah kamu dimarahi oleh seseorang di sekolah ?”. Gunakan intonasi yang rendah dan bersahabat. Tundukkan mata kita hingga sejajar dengan mata anak kita. Gunakan bahasa tubuh yang bersahabat bukan bahasa tubuh menginterograsi.
  2. Amati perilaku anak sebelum kejadian mogok sekolah. Apakah ia murung, tampak ketakutan, atau menyendiri. Jika  iya, maka dapat diartikan ia baru saja mengalami hal yang tidak mengenakkan dan menakutkan.
  3. Berkomunikasilah dengan guru di sekolah, mungkin beliau mengetahui informasi yang belum diceritakan oleh anak kita.
  4. Doronglah anak untuk menghadapi ketakutannya dan bekali anak dengan cara untuk menghadapinya. Misalnya : dengan berani mengatakan “tidak suka” saat diperlakukan kurang baik oleh temannya. Atau menemani dia ke sekolah untuk menemani anak mendekati benda atau orang yang tidak disukainya. Langkah ini tergantung pada penyebab ia tidak mau sekolah.
  5. Jika anak terpaksa diliburkan pada hari itu karena kita tidak memiliki waktu cukup untuk menggali permasalahan anak atau menemani anak ke sekolah maka yang harus kita lakukan adalah memberikan pekerjaan di rumah (bukan permainan) dan hindarilah aktivitas yang disukai anak untuk mengisi waktunya selama di rumah. Mintalah anak untuk mengerjakan tugas-tugas sekolahnya di rumah atau mengerjakan latihan soal di rumah sebagai pengganti pelajaran di sekolah. Sewaktu pulang sekolah, mintalah anak untuk bertanya dan berkunjung ke rumah teman, guna menyalin materi pelajaran yang tidak ia ikuti.
  6. Bekerjasamalah dengan guru di sekolah dengan meminta pekerjaan sekolah yang harusnya diselesaikan di hari anak tidak masuk sekolah. Atau mintalah guru anak kita berkunjung ke rumah. Cara ini manjur saya terapkan pada salah seorang murid saya yang memang kurang memiliki rasa aman dalam dirinya  (ada masalah ketika di dalam kandungan ibunya). Kunjungan saya ke rumahnya membuat ia merasa bahwa saya adalah salah satu dari teman mama yang baik hati. Jadinya ia mau sekolah keesokan harinya.

Sumber pembelajaran lain yang bisa Anda dapatkan adalah buku “Rahasia Mendidik Anak agar Sukses dan Bahagia” yang ditulis oleh Bapak Ariesandi S., CHt yang bisa didapatkan di toko buku Gramedia.

Jika kita sudah menjalankan seluruh langkah diatas namun anak kita tetap memilih tidak mau sekolah, apa yang harus dilakukan ? Ini saatnya kita meminta bantuan orang yang lebih ahli. Kita dapat meminta bantuan pada psikolog atau tim konselor SekolahOrangtua.com yang terdekat. Mungkin ada penyebab yang tidak kita ketahui yang terekam di bawah sadar anak sehingga ia mengalami keenganan luar biasa untuk datang ke sekolah. Jika hal ini yang terjadi maka bantuan dari pihak yang lebih ahli untuk menetralkan pengalaman emosional tersebut sangat kita butuhkan.

oleh : Sandra M.,MPsi, Psikolog (Partner Konselor SekolahOrangtua.com)

Ciri-Ciri Masa Awal Kanak-Kanak

Ciri-Ciri Masa Awal Kanak-Kanak

Dalam setiap tahap perkembangan ada ciri-ciri khusus yang ada pada setiap tahap perkembangan, begitu juga pada saat masa kanak-kanak awal ditandai dengan ciri-ciri tertentu, menurut Hurlock (1980:108) ciri itu tercermin dalam sebutan yang biasa diberikan oleh para orang tua, pendidik, dan ahli psikologi: a) Sebutan Yang Digunakan Orang Tua. Ada beberapa sebutan untuk menggambarkan masa kanak-kanak, sebutan tersbeut berkisar tentang perilaku dan aktivitas yang dilakukan anak-anak, pada sebagian besar orang tua menganggap awal masa pada kanak-kanak sebagai usia yang mengundang masalah atau usia sulit. Masa kanak-kanak merupakan masa-masa yang sulit bagi orang tua karena pada masa kanak-kanak awal ialah karena anak-anak sedang mengembangkan kepribadian yang unik dan menuntut kebebasan yang pada umumnya kurang berhasil. Selain itu pada sebagian orang tua juga menganggap usia awal kanak-kanak sebagai usia mainan karena anak mudah menghabiskan sebagian besar waktu juga bermain dengan mainannya. b) Sebutan Yang  digunakan Para Pendidik. Sedangkan para pendidik menyebut usia awal kanak-kanak sebagai usia prasekolah, usia pra sekolah adalah usia yang belum memasuki usia sekolah atau masih berada di taman kanak-kanak, kelompok bermain, atau penitipan anak-anak. c) Sebutan Yang Digunakan Ahli Psikologi. Para ahli psikologi menggunakan sejumlah sebutan yang berbeda untuk menguraikan ciri-ciri yang menonjol dari perkembangan psikologis anak selama tahun awal masa kanak-kanak.

Salah satu sebutan yang banyak digunakan adalah usia kelompok, masa di mana anak-anak mempelajari dasar-dasar prilaku sosial sebagai persiapan bagi kehidupan sosial yang lebih tinggi yang diperlukan untuk penyesuaian diri pada waktu mereka masuk kelas satu. Karena perkembangan utama yang terjadi selama awal masa kanak-kanak berkisar diseputar penguasaan dan pengendalian lingkungan, banyak ahli psikologi yang melabelkan awal masa kanak-kanak sebagai usia menjelajah, sebuah label yang menunjukkan anak ingin mngetahui keadaan lingkungannya, bagaimana mekanismenya, bagaimana perasaannya dan bagaimana ia dapat menjadi bagian dari lingkungannya, ini termasuk manusia dan benda mati. Salah satu cara yang umum dalam menjelajah lingkungan adalah dengan bertanya, jadi periode ini adalah meniru pembicaraan dan perilaku orang lain, oleh karena itu periode ini juga disebut usia meniru. Namun kecenderungan ini nampak kuat tetapi anak lebih menunjukkan kreativitas dalam bermain selama masa kanak-kanak dibandingkan masa-masa lain dalam kehidupannya, dengan alasan ini para ahli psikologi juga menamakan periode ini sebagai usia kreatif.

Menurut Yusuf (2002) pada masa usia prasekolah ini dapat diperinci menjadi dua masa, yaitu masa vital dan masa estetik; a) Masa Vital. Pada masa ini, individu menggunakan fungsi-fungsi biologis untuk menemukan berbagai hal dalam dunianya. Untuk masa belajar, Freud menamakan tahun pertama dalam kehidupan individu itu sebagai masa oral (mulut), karena mulut dipandang sebagai sumber kenikmatan anak memasukkan apa saja yang dijumpai ke dalam mulutnya itu, tidaklah karena mulut sumber kenikmatan utama, tetapi karena waktu itu mulut merupakan alat untuk melakukan eksplorasi (penelitian) dan belajar. b) Masa Estetik. Pada masa ini dianggap sebagai masa perkembangan rasa keindahan. Kata estetik di sini dalam arti bahwa pada masa ini, perkembangan anak yang terutama adalah fungsi panca inderanya. Kegiatan eksploitasi dan belajar anak terutama menggunakan panca inderanya, pada masa ini, indera masih peka, karena itu Montessori menciptakan bermacam-macam alat permainan untuk melatih panca inderanya.

Rujukan Buku :

Hurlock, Elizabeth B., 1973. Adolescent Development. Tokyo: Mc Graw-Hill     Kogakusha Ltd,

Hurlock, Elizabeth B., 1976 Developmental Psychology New Delhi: Tata Mc     Graw-Hill Publishing Company Ltd,

Kompetensi pada Anak-anak

Pengamatan pada kehidupan sehari- hari mengambarkan adanya perbedaan individual dalam kemampuan untuk berinteraksi sosial secara kompeten, antara anak- anak yang memiliki kompetensi sosial dengan yang tidak, individu yang memiliki kompetensi sosial tampak lebih mudah untuk menjalin relasi yang baik dengan orang lain, sedangkan individu yang lain tanpak kesulitan berinteraksi sosial. Kompetensi sosial bukanlah faktor bawaan atau sifat yang diturunkan dari orang tuanya, tetapi kompetensi sosial dibentuk melalui interaksi sosial dilingkungannya, juga dapat melalui bimbingan dari orang tuanya. Konpetensi sosial akan berkembang dengan baik bila ada bimbingan dari pengasuh atau orang yang dengan telaten utnuk membimbingnya.
Menurut David Elkind (dalam Patmonodewo, 2003) memperkenalkan concept of competent infant bahwa kompetensi dipengaruhi oleh kondisi sosial seperti meningkatnya perceraian orang tua, meningkatnya pengasuhan yang dilakukan oleh orang tua tunggal, dan kedua orang tua yang bekerja. Lebih lanjut menurut Elkind anak yang kompeten dapat mengatasi perpisahan dengan orang tua, pada usia awal perkembangan sekalipun. Anak mampu menyesuaikan diri dengan orang lain sebagai pengasuhnya, seperti tempat penitipan anak dan sarana lain yang masih baru baginya.
Selain itu kompetensi sosial dapat dikembangkan sejak dini pada anak.

Elkind (dalam Patmonodewo, 2003) berpendapat ada beberapa saran cara mengembangkan kompetensi pada anak, antara lain adalah :

a) Waktu yang paling baik untuk mengembangkan kompetensi adalah sejak anak berusia sekitar 6 – 8 bulan sampai 2 tahun,

b) Anak yang memiliki kompetensi yang tinggi umumnya memiliki hubungan sosial yang akrab dengan orang yang penting bagi anak, misalnya orang tua, khususnya dalam masa bulan pertama sejak kelahirannya sampai sebelum ulang tahunnya yang pertama,

c) Kualitas hubungan anak dengan orang tua lebih menentukan daripada lamanya mereka bersama anak. Orang tua penggantipun dapat memberikan pengalaman yang kaya pula,

d) Anak yang berkembang secara optimal apabila pengasuh mau berbicara dengan anak tentang apa saja yang diminati anak,

e) Berbicara dengan anak secara oral akan jauh lebih efektif dalam mengembangkan bahasa, sosial dan intelektual anak daripada bila anak memperoleh rangsangan bicara dari televisi, radio atau melalui pembicaraan antar beberapa orang tua,

f) Kebebasan fisik adalah penting bagi anak, anak yang tidak terus menerus dibatasi ruang geraknya akan lebih baik perkembangannya.
Sementara itu menurut Gunarsa (2002) bermain pada anak-anak dapat menjadi pengembangan kompetensi diri anak, pengembangan kompetensi diri anak, pengembangan kompetensi diri anak tersebut yaitu :

a) Bermain dapat merangsang perkembangan kognitif anak. Bermain membuat anak dapat menyelidiki lingkungan, belajar tentang obyek dan penyelesaian masalah,

b) Bermain memperlancar perkembangan sosial anak. Khususnya dalam bermain fantasi atau khayalan dengan bermain peran, anak belajar mengerti orang lain dan bermain peran  yang akan diperankan apabila bertambah usianya,

c) Bermain memungkinkan anak menyelesaikan masalah emosi. Anak belajar mengatasi ketakutan, konflik dalam dirinya dengan situasi yang tidak mengancam.
Kompetensi anak perlu dikembangkan melalui interaksi, minat, kesempatan, mengagumi dan kasih sayang. Ainsworth dan Wittig serta Shite dan Wittig dalam Patmonodewo (2003) menjelaskan cara mengembangkan agar anak dapat berkembang menjadi kompeten dengan cara sebagai berikut :

a) Lakukan interaksi sesering mungkin dan bervariasi dengan anak.

b) Tunjukkan minat terhadap apa yang dilakukan dan dikatakan anak.

c) Berikan kesempatan kepada anak untuk meneliti dan mendapatkan kesempatan dalam banyak hal.

d) Berikan kesempatan dan dorongan anak untuk melakukan berbagai kegiatan secara mandiri.

e) Doronglah anak agar mau mencoba mendapatkan ketrampilan dalam berbagai tingkah laku.

f) Tentukan batas-batas tingkah laku yang diperbolehkan oleh lingkungannya.

g) Kagumilah apa yang dilakukan anak.

h) Sebaiknya apabila berkomunikasi dengan anak, lakukan dengan hangat dan dengan ketulusan hati.

Proses Pendidikan Anak merupakan Bentukan dari Lingkungan atau Bawaan Alamiah? – Bagian 1

oleh : Sandra Mungliandi, M Psi., Psikolog.

Anak kelas 6 di sebuah sekolah swasta diwawancarai oleh seorang reporter TV swasta,”Kenapa kita harus punya cita-cita ?”. Si anak menjawab,”Supaya kita punya tujuan hidup.” Begitu jawaban anak itu dengan percaya diri. Singkat namun dalam maknanya.
“Apa cita-cita kamu ?”.
Si anak menjawab,”Menjadi penerbit buku.”
“Penerbit buku apa ? Komik atau buku pelajaran atau yang lain.?”
“Buku pelajaran.”
“Buku pelajaran bidang apa ?”
“Bahasa Indonesia.”

Wawancara ini berlangsung dengan sangat lancar. Anak SD ini dapat menjawabnya tanpa ragu-ragu mengenai tujuan yang ingin ia capai dalam hidupnya. Berapa banyak anak yang telah dididik sejak kecil untuk bisa memahami tujuan hidupnya ?

Bandingkan dengan 2 orang yang telah duduk di bangku SMU ini. Secara tidak sengaja ketika saya sedang berjalan-jalan di daerah sekitar rumah, saya mendengarkan percakapan 2 orang anak SMU mengenai jurusan apa yang akan mereka putuskan setelah mereka lulus. Sebut saja si A dan si B. Si A bertanya pada B,”E… kamu wis mutus’no mau masuk jurusan apa ? Aku kok bingung ya?. Papaku mau aku masuk ekonomi, tapi aku gak suka itung-itungan. Aku pengin masuk psikologi, tapi gak boleh sama mamaku. Kata’e cuman ngurusin orang gila tok. Yak apa ya ?”.

Si B menjawab,”Lo lo… kamu nek mau masuk Psikologi kudu bisa ngomong sama orang lo. Tapi… gak harus rasanya. Aku punya teman, orang’e pendiam banget. Tapi dia masuk psikologi. Kata’e orang, kalau mau masuk psikologi harus bisa ngomong sama orang. Kamu bisa gak ngomong sama orang ?”.

Mendengar komentar B yang terakhir itu, saya menjadi tersenyum kecil (maunya sih tertawa terbahak-bahak, tapi nanti dipikir saya orang gila. Ngapain ibu hamil ini, sudah jalan sendiri, eh… pake ketawa-ketiwi sendiri lagi). Dalam pikiran saya terlintas,”Kenapa syarat masuk psikologi harus bisa bicara dengan orang ? Memangnya selama ini kamu bicara dengan siapa ? Apakah selama ini kamu bicara dengan anggota kebun binatang ?”. Namun dibalik rasa geli saya, terlintas juga perasaan sedih. Kenapa anak yang sudah menjelang dewasa ini, tidak mengerti apa tujuan hidupnya ? Hal ini sangat bertolak belakang dengan anak SD yang telah saya ceritakan di atas. Pada usia sangat muda, ia telah tahu apa yang akan ia lakukan ketika dewasa nanti. Sedangkan, kakak yang berusia sangat jauh diatasnya masih kebingungan hendak di kemanakan hidupnya ini.

Nah… Menurut Anda pemahaman mengenai tujuan hidup dan siapa saya sebenarnya merupakan Bawaan Alamiah atau Bentukan dari lingkungan ?

Mengapa remaja SMU tersebut belum mampu mengenal siapa saya, apa tujuan hidup saya dan minat saya apa ?

Mengapa pengenalan karakter diri dan tujuan hidup merupakan kegiatan yang sulit bagi tiap orang ?

Bahkan ada orang yang telah berumur 27 tahun namun masih belum dapat memutuskan siapa dirinya sebenarnya. Hal ini dikarenakan sejak kecil kita terbiasa di doktrin mengenai perilaku, pikiran dan perasaan yang benar dan salah dengan mengabaikan bawaan alamiah yang ada dalam diri kita masing-masing. Pendidikan diterapkan tidak sesuai dengan tahapan perkembangan diri anak-anak. Perkembangan seorang anak dinilai dari apa yang bisa dan tidak bisa dilakukan. Lebih cepat atau lebih lambat dari teman sebayanya. Hal inilah yang menyebabkan terjadinya kebingungan dalam diri anak, antara keinginan menjadi diri sendiri dan mengikuti doktrin dari orangtua. Ibaratnya seperti sebuah pohon yang tumbuh dibawah atap semen sehingga menyebabkan pertumbuhannya menjadi miring, tidak lagi lurus mengikuti hukum alam. Ketika dewasa berakibat menjadi kebingungan akan identitas diri.

Setiap makhluk hidup dilahirkan dengan memiliki bawaan alamiahnya sendiri-sendiri. Bawaan alamiah ini diturunkan dari orangtua pada diri anak masing-masing. Bukti nyata adalah dapat diamati pada saudara kembar yang telah dipisahkan sejak lahir dan diasuh oleh orangtua dan lingkungan berbeda. Ketika diteliti mereka memiliki kemiripan satu dengan yang lainnya mulai dari cara berjalan, tersenyum, mengambil keputusan dll. Inilah yang membuktikan bahwa ada sejumlah karakteristik yang dibawa oleh tiap manusia sejak ia lahir.

Tugas kita, sebagai orangtua adalah mengenali karakteristik alamiah yang telah dibawa anak-anak ini. Setelah mengenali, kita perlu untuk membentuknya/mengasuhnya sehingga sesuai dengan kecenderungan yang ada dalam diri si anak. Kesalahan mengenali bawaan alamiah ini yang menjadi penyebab terjadi kesalahpahaman antar anak dan orangtua. Anak merasa tidak dimengerti oleh orangtuanya sedangkan orangtua merasa bahwa ada sesuatu yang tidak beres dengan anaknya karena berperilaku berbeda dengan harapan yang selama ini dimilikinya.

Apa sajakah bawaan alamiah yang dibawa oleh anak sejak lahir ? Jawaban ini akan anda dapatkan pada artikel kedua.

Aku Untukmu

Pagi ini hujan membasahi wajahmu
Hujan bersama angin datang membawa hawa yang baru
Setelah kemarin, matahari dengan teriknya membakar duniamu
Kau terdiam, dan kinipun kau terdiam
Sesungguhnya, apa yang kau minta?
Tak pernah kau menjawab pertanyaan-pertanyaan itu
Diberi hujan kau diam
Terbakar terik, kau diam
Apakah itu pilihanmu?
Diam itu pilihanmu?
Ya, terkadang diam itu lebih baik
Apalagi ketika perasaan datang menggoyah semua fikiranmu
Fikiranmu menjadi tak waras
Seolah kau orang yang kenyang dengan meminum arak
Bicaramu ngelantur …
Fikiranmu ngelantur …
Perasaanmu ngelantur …
Kemudian, kau merasa sendiri
Kau berkata tak ada lagi yang mencintaimu
Kemudian kau meminta kepada Tuhanmu
Ya, Tuhan …
Ijinkan aku hidup sekali lagi, untuk dapat hidup bersamanya
Aku mencintainya …
Sungguh aku mencintainya …
Tak sadarkah kau dengan perkataan dan do’a-do’a mu itu?
Perkataan dan do’amu telah menggoreskan sebuah luka
Luka yang kau tak tau bagaimana menyembuhkannya …
Sementara, kau masih menjalin cinta dengan kekasihmu sendiri
Kekasih yang dihalalkan untukmu
Tak tahukah kau …
Dengan semua yang kaurasakan?
Dengan semua yang kurasakan?
Hujan tlah berhenti
Tapi mendung masih menutupi
Sampai kapan kau akan terus seperti ini …
Apakah takkan ada lagi
Kata-kata yang kupinta
Aku untukmu …

Kemarahan Orang Tua Pengaruhi Sikap Anak

TERIAKAN bocah malang itu tidak juga menghentikan gerakan tangan sang ayah untuk berhenti memukuli tubuh ringkihnya. Barulah setelah tubuh itu diam tak bergerak, kesadaran si ayah langsung pulih. Apa boleh buat, nasi sudah menjadi bubur, nyawa pun melayang sia-sia.

Itu bukan cerita rekaan, tapi benar terjadi Desember 1984. Kasus penganiayaan terhadap Arie Hanggara yang dilakukan ayahnya, menjadi cerita memilukan. Bahkan sempat diangkat ke layar perak.

Arie menjadi korban kekerasan ayahnya yang menyebabkan nyawanya melayang. Ternyata Arie bukan anak terakhir yang mengalami nasib memilukan ini. Penyiksaan anak (child abuse) malah terjadi sepanjang tahun. Bahkan UNICEF pada 2003 melansir laporan sebanyak 3.500 anak berusia kurang dari 15 tahun tewas setiap tahun akibat perlakukan kejam.

Riset yang dilakukan UNICEF di beberapa negara itu juga menunjukkan tingkat kekerasan yang berakhir dengan kematian terjadi di negara-negara kawasan Amerika, Eropa, Pasifik, tergolong tinggi, seperti di AS, Meksiko, Portugal, Belgia, Ceko, Hongaria, Prancis, dan Selandia Baru. Namun Spanyol, Yunani, Italia, Irlandia, dan Norwegia justru tergolong rendah.

Dari temuan UNICEF, ada dua faktor penyebab terjadinya kekerasan terhadap anak. Pertama, stres dan kemiskinan. Kemudian rumah tangga yang kerap diwarnai kekerasan antara suami dan istri.

Bentuk kekerasan yang tidak tepat bisa berpengaruh buruk pada anak dalam jangka panjang. Makian kasar seperti “dasar anak sial” atau “dasar anak nakal” akan terekam kuat dalam diri si anak.

Anak yang sering dimarahi orang tuanya, apalagi diikuti dengan penyiksaan, cenderung meniru perilaku buruk (coping mechanism) seperti bulimia nervosa (memuntahkan makanan kembali), penyimpangan pola makan, anorexia (takut gemuk), kecanduan alkohol dan obat-obatan, dan memiliki dorongan bunuh diri.

“Marah merupakan hal yang normal, tapi kemarahan yang tidak tepat bisa memengaruhi kondisi psikis dan fisik anak,” ujar psikolog dari Jagadnita, Diah P Paramita dalam acara bertajuk ‘Seni bertengkar sehat dengan anak’ di Jakarta, Sabtu (30/8).

Sedangkan psikolog dari Medicare Clinic Anna Surti Ariani menambahkan, tindakan seperti mencubit atau memukul sedapat mungkin dihindari, karena sama sekali tidak perlu. “Asalkan menguasai teknik-teknik mendisiplinkan anak, 50% kenakalan anak akan teratasi,” katanya.

Menurut Nina, begitu ia disapa, mendisiplinkan anak balita harus secara konkret, seperti menunjukkan wajah cemberut. Pada usia ini mereka cenderung meniru. Hal ini sesuai dengan perkembangan kognitif anak. Sedangkan pada anak usia SD disarankan menggunakan metode broken record (piringan hitam rusak). “Ibarat piringan hitam rusak, ucapkan apa yang diinginkan orang tua berulang-ulang,” jelas Nina.

Diah pun menambahkan, marah yang bertujuan untuk mendidik dan memperbaiki kesalahan-kesalahan agar perbuatan serupa tidak terulang lagi. Kemarahan yang diekspresikan secara tidak tepat, akan memengaruhi kemampuan orang tua dalam menerapkan disiplin dan memengaruhi hubungan orang tua dengan anak.

Marah yang diikuti pemukulan menimbulkan luka batin, benci terhadap orang tua, rendah diri, antisosial, dan suka berkelahi. “Anak-anak suka meniru, kalau dipukul akan balas memukul. Selain itu memukul tidak mengubah perilaku,” sambung Diah.

Child Right Information Network–sebuah organisasi yang peduli pada nasib anak-anak– memaparkan pemukulan terhadap anak-anak (baik dengan tangan, ikat pinggang, tongkat, atau sepatu), menendang, melempar, mengguncang-guncangkan tubuh anak, mencakar, menggigit, menyuruh anak diam dalam posisi yang membuatnya tidak nyaman, bila terjadi di Eropa dapat dikenai tuduhan melakukan tindakan kriminal. Austria, Denmark, Finlandia, Islandia, Jerman, Norwegia, dan Swedia memiliki UU yang melarang keras penyiksaan fisik terhadap anak-anak.

Kekesalan orang tua bisa berdampak pada anak. Maka dari itu, orang tua harus menyelesaikan masalahnya lebih dulu. Menurut Diah, orang tua bisa mengikuti terapi untuk mengatasi kemarahan di masa lalu.

Selanjutnya melakukan identifikasi masalah di masa lalu. “Anak yang ibunya sering sekali marah akan sulit untuk disiplin,” tegasnya.

Dalam dialog tersebut juga terungkap bahwa anak yang dekat dengan orang tuanya akan jarang marah. Bila hubungan itu harmonis dan akrab, orang tua lebih mengenal karakter anak sehingga dapat menghindari kondisi pemicu pertengkaran. Diah menyarankan menarik napas setiap kali hendak marah. “Kondisikan diri untuk tidak memerhatikan hal-hal kecil yang bisa membuat marah.”

Agar hubungan orang tua-anak harmonis tingkatkan pendekatan dengan melakukan kegiatan bersama. Kemudian memberi contoh/sikap yang baik bisa meningkatkan rasa percaya diri. Meluangkan waktu untuk bermain bersama, dan memberikan tanggung jawab, membuat anak merasa spesial. “Ajak anak menyiram tanaman biarkan anak memegang selang air,” jelas Diah memberi contoh.

Selain hal yang diungkapkan di atas, Diah menyarankan orang tua menjalin komunikasi nonverbal. Yakni melakukan kontak mata saat berbicara, sikap tubuh sejajar saat berbicara (sambil duduk atau jongkok), rendahkan nada suara, berikan pelukan dan sentuhan lembut pada kepala sebagai tanda berbaikan usai memarahi.

Sumber : Media Indonesia Online

Biografi Chairil Anwar

Chairil Anwar
Chairil Anwar dilahirkan di Medan, 26 Julai 1922. Dia dibesarkan dalam keluarga yang cukup berantakan. Kedua ayah ibunya bercerai, dan ayahnya menikah lagi. Selepas perceraian itu, setelah lulus dari SMA, Chairil mengikuti ibunya ke Jakarta.
Semasa kecil di Medan, Chairil sangat dekat dengan neneknya. Keakraban ini begitu memberi kesan kepada hidup Chairil. Dalam hidupnya yang amat jarang berduka, salah satu kepedihan terhebat adalah ketika neneknya meninggal dunia. Chairil melukiskan kedukaan itu dalam sajak yang luar biasa pedih:

Bukan kematian benar yang menusuk kalbu

Keridlaanmu menerima segala tiba

Tak kutahu setinggi itu atas debu

Dan duka maha tuan bertahta
Selain nenek, ibunya adalah wanita kedua yang paling Chairil puja. Dia bahkan terbiasa menaruh nama ayahnya, Tulus, di depan sang Ibu, sebagai tanda menyebelahi nasib si ibu. Dan di depan ibunya, Chairil seringkali kehilangan sisinya yang liar. Beberapa puisi Chairil juga menunjukkan kecintaannya pada ibunya.
Sejak kecil, semangat Chairil terkenal kedegilannya. Seorang teman dekatnya Sjamsul Ridwan, pernah membuat suatu tulisan tentang kehidupan Chairil Anwar ketika semasa kecil. Menurut dia, salah satu sifat Chairil pada masa kanak-kanaknya ialah pantang dikalahkan, baik pantang kalah dalam suatu persaingan, maupun dalam mendapatkan keinginan hatinya. Keinginan dan hasrat untuk mendapatkan itulah yang menyebabkan jiwanya selalu meluap-luap, menyala-nyala, bisa dikatakan ia tidak pernah diam.
Temannya, Jassin pun punya kenangan tentang ini.Kami pernah bermain bulu tangkis bersama, dan dia kalah. Tapi dia tak mengakui kekalahannya, dan mengajak bertanding terus. Akhirnya saya kalah. Semua itu kerana kami bertanding di depan para gadis.
Wanita adalah dunia Chairil sesudah buku. Tercatat nama Ida, Sri Ayati, Gadis Rasyid, Mirat, dan Roosmeini sebagai gadis yang dikejar-kejar Chairil. Dan semua nama gadis itu bahkan masuk ke dalam puisi-puisi Chairil. Namun, kepada gadis Karawang, Hapsah, Chairil telah menikahinya.
Pernikahan itu tak berumur panjang. Disebabkan kesulitan ekonomi, dan gaya hidup Chairil yang tak berubah, Hapsah meminta cerai. Saat anaknya berumur 7 bulan, Chairil pun menjadi duda.
Tak lama setelah itu, pukul 15.15 WIB, 28 April 1949, Chairil meninggal dunia. Ada beberapa versi tentang sakitnya. Tapi yang pasti, TBC kronis dan sipilis.
Umur Chairil memang pendek, 27 tahun. Tapi kependekan itu meninggalkan banyak hal bagi perkembangan kesusasteraan Indonesia. Malah dia menjadi contoh terbaik, untuk sikap yang tidak bersungguh-sungguh di dalam menggeluti kesenian. Sikap inilah yang membuat anaknya, Evawani Chairil Anwar, seorang notaris di Bekasi, harus meminta maaf, saat mengenang kematian ayahnya, di tahun 1999, Saya minta maaf, karena kini saya hidup di suatu dunia yang bertentangan dengan dunia Chairil Anwar.

Jalan Yang Tidak Kutempuh

Dua jalan bercabang dalam remang hutan kehidupan
Dan sayang aku tidak bisa menempuh keduanya
Dan sebagai pengembara, aku berdiri lama
Dan memandang ke satu jalan sejauh aku bisa
Ke mana kelokannya mengarah di balik semak belukar;

Kemudian aku memandang yang satunya, sama bagusnya
Dan mungkin malah lebih bagus
karen jalan setapak itu segar dan mengundang
Meskipun tapak yang telah melewatinya
Juga telah merundukkan reumputannya,

Dan pagi itu keduanya sama-sam membantang
Di bawah hamparan dedaunan rontok yang belum terusik
Oh, kusimpan jalan pertama untuk kali lain!Meski tahu semua jalan berkaitan
Aku ragu akan pernah kembali.

Aku menuturkannya sambil mendesah
Suatu saat berabad-abad mendatang;
Dua jalan bercabang di hutan, dan aku —–
Aku menempuh jalan yang jarang dilalui,
Dan itu mengubah segalanya.

Sebuah puisi karya Robert Frost (1916) ini kubaca dalam buku Rich Dad, Poor Dad, menjadi inspirasiku, ketika aku harus memilih di antara dua jalan yang asing bagiku. Satu jalan nampak indah karena memang banyak orang yang suka, dimana jalan itu penuh dengan tapak-tapak kaki orang-orang yang melaluinya. Dan lain jalan, merupakan jalan yang sunyi sehingga orang tak ingin melewatinya. Tak tahu apa yang akan menghadang di jalan itu. Seberapa keberanian kita untuk menempuhinya? Hidup itu seperti itu…. Hidup itu tak harus mengikuti apa yang biasa dilakukan orang lain. Tapi bagaimana kita harus mencari jalan sendiri, sehingga orang lain mengikuti jalan kita….

In Memoriam

seberapajauh kaki ini kan melangkah…
seberapa lama hati kan menunggu
mimpi yang kan bermetamorfosa
tlah kutunggu begitu lama
hingga ia pergi jauh, tak mampu kukejar
ingin kuremukan hati
biarkan semuanya luruh
tapi aku sungguh tak mampu
keresahan hati
kemana kan ku bagi
kerinduan hati hanya untuk seorang kekasih hati
yang kini tak lagi kumiliki
bukan karena ku tak mencintanya
aku sungguh mengharapkannya
ingin kukayuh biduk
ingin kukembangkan layar bersamanya
hah, semuanya menghilang
aku masih tetap menunggu
suatu yang aku tunggu
dalam hatiku, masih bersemayam kenangan bersamanya
duduk berdua memandang samudra yang kan kutempuh
perjalananan  menjadi saksi
saat kau dekap diriku
serasa kau takut kehilangan
begitu hangat terasa
akankah terulang….

  • Kategori

  • Klik tertinggi

    • Tidak ada